Kasultanan Kadriah, Pontianak



Lokasi selanjutnya yang menjadi destinasi mbolang sekaligus menjadi lokasi paling berkesan, adalah istana Kasultanan Kadriah, Pontianak.



Jadi, karena saya dan teman saya sama-sama buta arah di Pontianak dan tidak berani bawa kendaraan sendiri, kami memutuskan untuk menyewa mobil selama mbolang di Pontianak. Kebetulan ada sopir mobil sewaan yang mau mengantarkan kami berkeliling ke beberapa destinasi.

Selama perjalanan, kami disarankan oleh pak sopir untuk mampir istana agar waktunya ngepas dua jam (waktu minimal menyewa mobil). Awalnya iseng, yaudahlah sekalian mampir mumpung searah. Karena sedikit sekali info yang saya peroleh tentang tempat ini, awalnya saya pikir istana ini adalah semacam istana kasultanan yang sudah runtuh atau tidak dihuni. Apalagi lokasinya yang terletak agak di pinggir kota, di kecamatan Pontianak Timur. Lokasi tepatnya berada di Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Pontianak.

Namun ekspektasi saya ternyata salah. Setibanya di lokasi, saya disambut sebuah bangunan kayu nan besar dan megah. Benar-benar sebuah istana indah yang bernuansa melayu. Tinggi menjulang dan bercat kuning keemasan, inilah Istana Kasultanan Kadriyah, Pontianak. 

Sama seperti istana-istana melayu lainnya, terdapat sebuah meriam kuno berwarna kuning yang bersiaga dengan gagahnya, tepat di tengah lapangan yang memisahkan gerbang dan tangga istana. Konon katanya, jatuhnya tiga peluru meriam ini yang dulu digunakan untuk menandai lokasi pendirian Istana Kadriah, Mesjid Jami' Sultan Abdurrahman serta lokasi pemakaman anggota keluarga Kesultanan Pontianak.

Bercat warna kuning terang dan berbentuk rumah panggung khas Kalimantan, saya membayangkan, pastilah bangunan ini amat megah dan dikagumi pada masa jayanya. Konon katanya, kayu yang digunakan untuk membangun istana ini adalah kayu berlian atau kayu ulin pilihan yang tidak akan dimakan rayap atau lapuk meski telah berabad usianya. Cat kuning yang mewarnai seluruh bangunan pun merupakan ciri khas kerajaan Melayu Islam yang melambangkan kejayaan dan kemakmuran.

Di sekeliling istana nampak anak-anak kecil berlarian, bermain-main di halaman yang cukup luas. Kami naik ke tangga utama setelah melepas alas kaki (tamu diharuskan melepas sepatu) dan sampai di teras yang cukup luas. Nah, disinilah saya mendapatkan kejutan..

Di teras, saya melihat sepasang suami istri sedang duduk bersantai di kursi teras. Disamping mereka berdua, ada seorang laki-laki lebih muda yang duduk di bawah, ngampar di lantai. Beliau bertiga sedang bercakap-cakap lirih dan memperhatikan saya yang terlihat kebingungan. Saya agak bingung, apakah ada regulasi untuk masuk ke dalam istana ini atau bagaimana, karena saya tidak melihat siapapun selain beliau bertiga. Sampai disini karena saya masih berasumsi istana ini sudah tidak berpenghuni, maka saya hanya mikir Oh, beliau-beliau ini mungkin pengunjung istana yang sedang beristirahat”. Saya masih gagal paham karena saya memang tidak tahu informasi apapun sama sekali tentang Kasultanan di Pontianak ini.

Dengan clueless saya jalan menuju pintu masuk istana, ketika lelaki yang lebih muda tadi menghampiri kami berdua.
“Selamat pagi, ibu berdua ini darimana?” sapa beliau santun. Oh, beliau ini mungkin guide atau pemandu di istana ini, batin saya. Soalnya beliau santun dan humble sekali. 
Setelah menjelaskan asal usul kami dan basa-basi sebentar, kami dipersilahkan masuk kedalam istana. Kemudian sambil menunjuk sepasang suami istri yang sedang beristirahat di kursi tadi, bapak muda ini berkata,
“Beliau ini adalah sultan Pontianak saat ini, Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie, bersama permaisuri”.
Sumpah saya kaget. 
“Eh gimana? Seriusan nih? Sultan?? Sultan yang semacam Raja gitu kan ya?? Pemimpin tertinggi di sebuah kasultanan kan ya?? Ini gak salah nih??” saya mulai norak-norak excited gitu..
Ternyata menurut info dari beliau, Kasultanan yang berdiri sejak 1771 ini masih tetap lestari dengan dipimpin Sultan Syarif Abubakar Alkadrie sejak tahun 2004.

Saya kaget karena baru kali ini bertemu langsung dengan Sultan ke-8 dari Kasultanan Kadriyah ini. Tampilan beliau dan istri yang bersahaja sangat mencerminkan kesederhanaan seorang pemimpin yang merakyat. Lebih kaget lagi ketika sang Permaisuri, Mas Ratu Laila, menawarkan untuk menemani kami melihat-lihat istana. Wuih, kapan lagi ketemu Permaisuri kerajaan, ditemenin keliling istana pula! Tentu saja kami tak menolak, alhasil kami berkeliling-keliling istana ditemani ibu Permaisuri nan cantik dan bersahaja.

Memasuki pintu istana, Ibu Permaisuri menjelaskan asal-usul dan koleksi benda bersejarah yang terpajang rapi di dinding istana Kasultanan Kadriah ini. Sayangnya ada beberapa ruangan yang tertutup untuk umum karena sedang ada rencana untuk menata kembali ruangan kerajaan. Berjajar di dinding istana yang berwarna kuning cerah, foto-foto dan benda-benda koleksi istana yang amat bersejarah. Terdapat foto-foto Sultan Pontianak, lambang kesultanan, lampu hias yang indah, kipas angin, keris, dan meja giok. Namun yang menjadi fokus saya adalah sebuah singgasana raja yang berdiri megah tepat di tengah-tengah ruangan istana. Singgasana berwarna  keemasan yang sampai saat ini masih digunakan saat menerima tamu-tamu kesultanan.



Ibu Permaisuri juga menunjukkan sebuah warisan kerajaan yang disebut Cermin Pecah Seribu. Cermin ini dikatakan ajaib karena bisa melihat 1000 wajah kita. Berupa dua buah cermin besar yang diletakkan berseberangan dengan sudut tertentu yang diatur, sehingga jika kita berdiri di depan cermin tersebut akan nampaklah bayangan yang berlapis-lapis, seakan memiliki seribu bayangan.



Di bagian belakang ruang istana terdapat satu ruangan yang cukup besar. Sayangnya karena sedang akan ditata ulang, ruangan ini ditutup sementara untuk umum. Menurut Permaisuri, di dalam ruangan ini terdapat benda-benda warisan Kesultanan Pontianak, seperti senjata, pakaian sultan dan permaisurinya, foto-foto keluarga sultan, dan arca-arca.

Lebih lanjut Permaisuri juga menceritakan terjadinya tragedi pembunuhan Sultan terdahulu oleh Jepang, yaitu Sultan Syarif Muhammad. Peristiwa ini terjadi pada suatu pagi di bulan Juni tahun 1944. Bukan hanya Sultan Syarif Muhammad beserta keluarga, Jepang juga membunuh cendekiawan, tokoh dan pemuka agama, pemuka adat dan ribuan rakyat Pontianak. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Peristiwa Mandor dan menjadi salah satu faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa pada saat itu. Jenazah Sultan yang dibunuh sepulang shalat subuh di masjid ini baru ditemukan oleh putranya pada tahun 1946.

Pembantaian keluarga kerajaan ini hanya menyisakan anak-anak dan wanita. Namun ada seorang putra sultan yang berhasil selamat (saat itu beliau sedang menjadi tawanan Jepang di Batavia), Syarif Hamid, yang kemudian naik tahta dan dinobatkan dengan gelar Sultan Hamid II. Nah, beliau inilah yang merupakan salah satu penggagas lambang negara Indonesia, Burung Garuda.



Terpajang apik di dinding istana, duplikat desain dari desain awal lambang negara Republik Indonesia yang dirancang oleh Sultan Hamid II. Sayangnya belum banyak yang tahu, atau memberikan apresiasi terhadap jasa beliau. Bahkan pemerintah pun dirasa masih kurang perhatian terhadap salah satu tokoh penting bangsa ini. Sehingga muncul wacana dari pihak keluarga dan yayasan Sultan Hamid II untuk mengajukan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional atas jasanya sebagai perancang lambang negara Garuda Pancasila.

Cukup lama kami ngobrol ngalor ngidul. Ndelalah Ibu Permaisuri Mas Ratu Laila ini  orangnya masih muda, pinter, cantik pula. Fasih sekali beliau mengungkapkan pendapat-pendapatnya tentang beragam permasalahan negeri ini. Beliau menjelaskan bahwa sejak lama telah muncul usulan untuk mengganti nama bandara Pontianak menjadi Bandara Internasional Sultan Hamid II (saat ini bernama Bandara Supadio), namun sayangnya sampai saat ini masih belum terealisasi. Beliau juga menjelaskan rencana pihak kasultanan untuk mengubah dan memanfaatkan istana sebagai ruang display benda-benda peninggalan kerajaan. Jadi nantinya istana ini akan sekaligus beralih fungsi sebagai museum yang memuat segala informasi tentang Kasultanan Kadriyah dan Sultan Hamid II. Wow, kereeen!

Nah, btw, di akhir percakapan kami, saya mendapatkan kejutan lain..
Jadi setelah ngobrol panjang lebar, teman saya iseng nanya. “Sekarang apa masih ada putra mahkota di kasultanan Kadriah ini?”. Saya ikut penasaran juga sih, apa masih ada garis keturunan? masihkah gelar kerajaan ini diwariskan?. Kemudian ibu Permaisuri menunjukkan sebuah foto, “Ini putra mahkota yang sekarang, pewaris tahta jika Sultan nanti meninggal”. Trus saya dan teman saya kaget, lho ini kan bapak-bapak muda yang tadi itu, yang menyapa dan nyamperin kami.
Walah, jadi orang yang tadi saya pikir guide istana itu ternyata adalah Putra Mahkota Kasultanan Kadriah, dan pasangan suami istri yang saya sangka pengunjung tadi sebenarnya adalah Sultan dan Permaisurinya. What a surprise!


*FYI, saat ini Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie telah meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Syarif Mahmud “Melvin” Alkadrie*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joger dan Krisna, pilih mana?

Christine Klappertaart, oleh-oleh nikmat khas Manado yang wajib banget dibawa pulang

Berkunjung ke SD Muhammadiyah Gantong (meski hanya replika)