Berkunjung ke SD Muhammadiyah Gantong (meski hanya replika)
Jauh sebelum film
Laskar Pelangi dibuat oleh Riri Riza, saya sudah “mengunjungi” SD Muhammadiyah
Gantong di pulau Belitung. Tahun 2005 lewat novel “Laskar Pelangi” terbitan
Bentang Pustaka, saya kenal Ikal, Lintang, Harun, Kucai, dan seluruh anggota
geng Laskar Pelangi beserta ceritanya. Ceritanya menghipnotis saya dengan kuat,
dan membuat saya bertekad, suatu hari saya harus berkunjung ke Belitung dan
mampir ke SD Muhammadiyah Gantong.
12 tahun
kemudian saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Belitung. Sayangnya SD
Muhammadiyah Gantong yang asli sudah lenyap dimakan usia. Saat ini yang tersisa
tinggal replikanya saja sebagai setting film Laskar Pelangi. Tak apa lah, tiada
rotan akar pun jadi. Terletak di Gantong, kabupaten Belitung Timur, lokasi ini
cukup jauh dari pusat kota Belitung.
Berkunjung
ke tempat ini memakan waktu sekitar 1 sampai 2 jam dari Tanjong Pandan. Menempuh
jarak sekitar 70km, jalan menuju Gantong lumayan sepi namun relatif aman. Tidak
banyak kendaraan lalu lalang di jalan beraspal mulus ini. Sepanjang jalan kami
melalui hutan, kebun sawit dan bekas tambang. Di beberapa tempat, galian bekas
tambang ini digenangi air yang membuatnya bagai rawa-rawa putih. Air yang
menggenangi bekas tambang ini berwarna putih karena kandungan kaolin di
tanahnya. Cantik namun berbahaya. Air genangan ini tidak boleh dimanfaatkan
untuk keperluan sehari-hari karena masih mengandung mineral dan logam berat.
Sampai
ke lokasi sudah pukul 3 sore. Tak seperti biasa, saat itu lokasi kompleks
wisata replika SD Muhammadiyah sepi pengunjung. Untuk masuk lokasi, pengunjung
ditarik retribusi sebesar 3ribu rupiah per orang. Di kompleks itu, selain replika
SD Muhammadiyah, ada juga museum yang memajang hasil kerajinan khas Belitung. Semua
bisa dikunjungi sampai jam 5 sore.
Masuk
ke lokasi, saya langsung menuju sebuah bangunan berdinding papan yang disangga
kayu. Inilah replika SD Muhammadiyah Gantong. Bangunan tua nan rapuh, berdinding
papan beralas tanah, betapa sederhana. Terdiri dari dua ruang kelas, bangunan
ini merepresentasikan keadaan SD Muhammadiyah Gantong tahun 1974.
Masuk
ruang kelas pertama, ada sebuah meja guru dan beberapa meja murid di
depannya. Catnya sudah kusam dan terkelupas di sana-sini. Papan tulis di
depan pun warnanya tidak jelas, antara hitam dan abu-abu. Terdapat bendera
merah putih yang berdiri di pojokan kelas, satu-satunya benda berwarna cerah di
kelas ini.
Saya beralih
ke ruang sebelah. Keadaanya sebelas dua belas dengan ruang kelas pertama tadi, kusam
dan berdebu. Lantainya beralas tanah berpasir, hampir sama dengan lapangan luas
di luar ruangan. Ya, tepat di depan kelas, ada lapangan luas berpasir putih. Terdapat
tiang bendera di tengah lapangan dengan bendera merah putih berkibar gagah.
Meski
ini semua hanya replika dari keadaan sekolah aslinya bertahun-tahun lalu, hal
ini masih menimbulkan keharuan di hati. Betapa sebuah sekolah swasta bertahan
hidup, untuk melayani siswa-siswa kurang mampu yang menginginkan pendidikan. Dengan
kondisi kelas yang “rubuh segan hidup tak mampu”, dapat dibayangkan betapa
pendidikan kala itu belum menjamah seluruh wilayah di Indonesia secara merata.
Meski
saat ini pun pendidikan masih belum merata secara adil di seluruh wilayah,
namun pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan nyatanya
telah mengupayakan pemerataan pendidikan semaksimal mungkin. Berbagai cara
dilakukan. Membuat sekolah Garis Depan, sekolah di wilayah 3T, mengupayakan
pembangunan kembali dan rehabilitasi sekolah rusak, bahkan merekrut guru-guru
untuk ditugaskan mengajar di wilayah pelosok
Indonesia. Semoga tidak ada lagi Bu Muslimah dan Pak Harfan lain yang harus berjuang sendiri demi
pendidikan.
Kunjungan
singkat ke tempat ini menyadarkan saya bahwa masih banyak PR tentang pendidikan
yang masih harus kita selesaikan bersama. Semoga kita bisa memperbaikinya
bersama.
Komentar
Posting Komentar